Jumat, 13 April 2012

Bila Istri Cerewet (Sebuah Renungan)


Adakah istri yang tidak cerewet?

Mungkin sulit sekali menemukannya. Karena itu merupakan salah satu sifat khas dari kaum hawa. Bahkan istri Khalifah sekaliber Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun cerewet.
Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar radhiyallahu ‘anhu. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah gulana. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar radhiyallahu ‘anhu.


Apa yang membuat seorang Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun?

Umar berdiam diri karena ingat 5 hal. Istrinya berperan sebagai BP4. Apakah BP4 tersebut?

1. Benteng Penjaga Api Neraka

Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat.

Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempat dia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan adzab yang kelak diterimanya, bahkan pahala dan shadaqah lah yang didapat, dia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan akhirat.

Maka, ketika Umar radhiyallahu ‘anhu terdorong untuk melihat kepada liukan penari yang datang dari kobaran api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari dengan liukan yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu istri yang shalihah selalu menjadi penyemangat baginya dalam mencari nafkah.


2. Pemelihara Rumah

Pagi hingga sore suami bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai menjelang malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya.

Mendapatkan uang, beli ini beli itu. Untunglah ada istri yang selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia. Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran.

Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula dia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar radhiyallahu ‘anhu ingat betul akan hal itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena (mungkin) ia lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari semakin membebaninya.

3. Penjaga Penampilan

Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu.


4. Pengasuh Anak-anak

Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat, serta agar selalu beada dan berjalan di atas jalan Allah. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku? akulah yang membuatnya begitu? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya. Umar radhiyallahu ‘anhu paham benar akan hal itu.

5. Penyedia Hidangan

Pulang kerja dan aktifitas luar rumah, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktifitas seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur asam, sambal terasi dan lalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam melambung; tadi pagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah-milah cabai dan bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak tercinta. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.

Dengan mengingat lima peran ini, Umar radhiyallahu ‘anhu kerap diam setiap istrinya ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya. Istri telah berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak, dan menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.

Umar radhiyallahu ‘anhu hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bukankah demikian yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam anjurkan kepada para muridnya, yang termasuk di dalamnya Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga terhindar dari pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.

Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar radhiyallahu ‘anhu ini. Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya. wallahu a’lam.

Semoga sedikit uraian di atas dapat menjadi bahan renungan kita, betapa sedikitnya kita bersabar menghadapi istri-istri kita, padahal betapa besarnya kesabaran para istri menghadapi dan melayani kita para suami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search